Tidak Apalah Kita Menyimpang Sedikit (Asian Games 1978)

Tempo 23 Desember 1978. KETIKA nama Heryanto Saputra, 24 tahun, dicantumkan sebagai pemain tunggal kedua untuk menghadapi tim bulutangkis RRC di final beregu putera, banyak orang terkesima. Prestasinya di lapangan tadinya masih payah untuk diandalkan. Dari 2 kali panggilan memasuki pelatnas tahun lalu, ia tak berhasil menempatkan diri dalam regu Indonesia. Juga Nopember, ketika seleksi penentuan pemain untuk Asian Games VIII, ia kurang mujur, disisihkan oleh Liem Swie King, Iie Sumirat, maupun Dhany Sartika. Maka hampir Saputra tidak jadi berangkat. Namun ia tertolong berkat penampilannya bersama Kartono dalam partai ganda yang tak begitu buruk.

Setelah pasangan Christian/Ade Chandra, memang merekalah orangnya. Kebetulan pemain ganda terkuat lainnya, Tjuntjun/Johan Wahyudi, berhalangan ikut. Kalau 2 nama yang disebut terakhir ini terlibat dalam seleksi, mungkin peruntungan Saputra dan Kartono akan lain. Mengapa justru Saputra yang dipertaruhkan untuk menghadapi Luan Chin, juara dunia versi Federasi Bulutangkis Dunia (WBF) 1978? “Ini namanya untung-untungan,” kata Ade Chandra. “Mereka (maksudnya: RRC) sudah memiliki film tentang permainan kita, semua. Jadi tak apalah sekali-sekali kita menyimpang.”

Dari penyimpangan itu, tim Indonesia ternyata tak mengecewakan di AG Bangkok pekan lalu. Saputra, pemain asal Tasikmalaya, bermain gugup di set pertama. Lambat laun ia dapat menguasai diri. Dan memenangkan set yang menegangkan itu 15-10. Dalam set lanjutan keadaan berbalik. Chin menyamakan kedudukan dengan angka 15-9. Dalam kesempatan mengaso selama 5 menit, sebelum set penentuan diserukan, Saputra kembali disuntik dengan semangat oleh pelatih Tahir Djide. Juga Christian ikut mendorong dengan menganalisa kelemahan Chin. “Saya dibilangin Christian agar tetap menjaga bola jangan mati. Karena Chin adalah pemain yang ceroboh,” cerita Saputra seusai pertandingan. Petunjuk itu, sekalipun di kertas tak punya harapan, dikerjakan Saputra dengan baik. Ia memainkan rally panjang, sesekali dropsot, bahkan smas yang tajam.

Saputra, mahasiswa Fakultas Sospol Universitas Parahyangan menutup set ke-3 dengan angka 15-9. Dan tim Indonesia sementara memimpin 2-0, setelah dalam partai pertama Liem Swie King menundukkan Han Tsien 15-6 dan 15-3. Pemasangan untung-untungan tidak hanya dicoba pada diri Saputra. Dua partai ganda, yang semula merupakan andalan untuk meraih angka bagi tim Indonesia bila tunggal kedua gagal, juga mengalami perobahan drastis. Pasangan juara seleksi, Christian/Ade Chandra, diceraikan. Masing-masing dijodohkan dengan Liem Swie King dan Iie Sumirat. Lihat Liang Dari perhitungan ini, ternyata meleset satu. Iie Sumirat/Ade Chandra tak berkutik di tangan pasangan Hou Chia Chang/Yu Yao Tung. Mereka kalah 15-9 dan 15-13.

Sebaliknya, Liem Swie King/ Christian menyisihkan Tang Hsien Hu/Lin Shih Chuan secara telak 15-11 dan 15-6. Kemenangan ini memastikan medali emas kedua bagi kontingen Indonesia. (Medali emas pertama diraih Atet Wiyono dkk dari nomor beregu tenis putera). “Tim Indonesia memang lebih baik,” puji pelatih bulutangkis RRC, Wang En Chiau. Di partai kelima, Iie Sumirat mencatat kemenangan atas Yu Yao Tung. Akhirnya skor 4-1 untuk Indonesia.

Di nomor beregu puteri, kenyataan sebaliknya. Tim RRC unggul 5-0 atas Indonesia. Kekalahan ini, antara lain, disebabkan pemain tunggal yan diharapkan, Verawaty Wiharyo tidak bermain dalam bentuk yang wajar. Menurut pengakuannya, ia terserang flu. Tampak ia kurang gigih dalam mengimbangi permainan Liu Hsia. Mengesankan di final beregu puteri ini adalah penampilan Ivanna melawan Liang Chiu Hsia, kakak Tjuntjun. Tapi Liang memang bukan tandingan Ivanna. Ia tidak sembarangan melepaskan smash — pertanda ia lebih banyak memakai otak ketimbang tenaga. Dalam waktu dekat, Liang diperkirakan akan menjadi pemain nomor satu di dunia. Perlawanan Ivanna, meski kalah, boleh dicatat memuaskan. Pemain lainnya, pasangan Tjan So Gwan/Imelda Wiguna, dan Theresia Widyastuti/Ruth Damayanti, tampil seadanya.

Sumber : Arsip Majalah Tempo Online 23 Desember 1978

Leave a comment