Bung Karno Dan Generasi Saya

Tempo 30 Juni 1979.SEWAKTU saya sekitar tahun 1930-an masih duduk di bangku sekolah menengah kolonial diSurabaya, Bung Karno adalah pahlawan pujaan dalam hati generasi saya.Betapa tidak! Di tengah-tengah suasana kolonial dengan segala macam diskriminasinya, Bung Karno dengan PNI-nya dari Bandung telah membangkitkan semangat nasionalisme, patriotisme, kemerdekaan dan kerakyatan.

Memang banyak pemimpin-pemimpin Pergerakan Nasional yang kita kagumi, seperti Tjokroaminoto, Dr. Tjipto Mangunkusumo, Dr. Soetomo, H. Agus Salim dan sebagainya.Tapi di antara mereka ada dua tokoh muda yang menonjol dalam pandangan kita, yaitu Bung Karno di Bandung, dan Bung Hatta di Negeri Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta-lah yang pada waktu itu dengan tulisan dan pidato-pidatonya menanamkan keyakinan dalam hati-sanubari kita, bahwa Indonesia Merdeka dapat dicapai.

Bahwa syarat mutlak adalah Persatuan Bangsa dari Sabang sampai Merauke dan bahwa Nasionalisme Indonesia adalah bagian integral dari kebangkitan seluruh Asia. Mereka berdua juga meramalkan bahwa Perang Pasipik akan pecah dan bahwa nanti datang kesempatan bagi kita merebut kemerdekaan itu. Kemerdekaan adalah syarat mutlak bagi rekonstruksi nasional.Bung Karno membekali kita dengan dua buku. Yang pertama adalah Indonesia Menggugat. Yaitu pidato pembelaannya di muka hakim kolonial Bandung, tanggal 2 Desember 1930. Yang kedua adalah Mencapai Indonesia Merdeka ditulis pada bulan Maret 1933, sesaat sebelum beliau dibuang ke Flores. Dari kedua buku itulah kita belajar ilmu perjuangan. Perjuangan kemerdekaan sebagai ilmu! Yang harus dikerjakan secara rasional-ilmiah, dengan pikiran dan perhitungan. Tetapi juga dengan semangat yang menyala-nyala.

Berdiri Di Atas Pundak Tiga Guru Kita belajar menganalisa sistim kolonial, dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Kita belajar menganalisa rakyat kita, juga dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Kita belajar hukum dialektika dengan segala kontradiksi dan antagonisme Nasionalisme melawan kolonialisme. Pada waktu Zaman Jepang kita lebih dewasa dalam ilmu perjuangan. Juga lebih berpengalaman.

Dalam menilai sepakterjang Bung Karno selama pendudukan Jepang itu, kita seringkali diliputi keragu-raguan, malahan adakalanya kejengkelan. Taktik Bung Karno dan Bung Hatta kita anggap lebih banyak ikut “menyanyikan lagunya Jepang” daripada melawan. Tetapi akhirnya kita mengakui kebenaran taktik mereka berdua. Yaitu keharusan adanya revolutionaire geduld, kesabaran revolusioner. Mengetahui bagaimana bertahan dalam pukulan, dan bagaimana menunggu waktu untuk memukul kembali.

Proklamasi Kemerdekaan dan Revolusi Nasional kita yang dicetuskan oleh Bung Karno dan Bung Hatta membenarkan taktik “kesabaran revolusioner” itu. Dalam alam kemerdekaan saya berkesempatan lebih banyak berkontak dengan Bung Karno. Juga berdialoog dan berdebat. Saya berkesimpulan, bahwa kalau Bung Karno sejak mudanya sudah berpandangan jauh ke depan, itu adalah karena dia “berdiri di atas pundak-pundaknya” tiga pejuang”guru”nya. Yaitu Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker alias Setiabudi.

Ibarat itu saya ambil dari bukunya John Langdon Davies: Man and his Universe dari perpustakaan beliau pribadi, di mana dikatakan bahwa “if Newton could see farther ahead than the older generation, it was by standing on the shoulders of three giants, namely: Aristotle, Copernicus and Galileo.” Dengan ibarat itu, saya hanya ingin menyimpulkan bahwa pemikiran dan perjuangan Bung Karno adalah hasil pemanfaatan beliau dari pikiran dan perjuangan guru-gurunya.

Tiga Sukarno Saya pun juga mendapat kesan, bahwa dalam diri pribadi Bung Karno, terdapat “tiga Sukarno”. Pertama: Sukarno sebagai ideoloog. Kedua: Sukarno sebagai politikus dan negarawan. Ketiga: Sukarno sebagai manusia. Sebagai ideoloog, Bung Karno sangat tajam dan tegas sekali. Pancasilanya adalah cerminan dari pemikiran filsafat yang matang, berlandasan kepribadian sendiri, demi persatuan dan kesatuan bangsa.

Bung Karno sebagai politikus dan negarawan sangat lihay. Beliau pintar memanipulasi kekuatan-kekuatan sosial-politik, mengadakan aliansi dan realiansi dalam menyusun barisan kekuatan antar-kawan, sambil mengacaukan barisan lawan. Tidak hanya di front dalam negeri, tapi juga di front luar negeri. Ini semua termasuk dalam taktik beliau. Taktik itu tidak tanpa risiko. Adakalanya Bung Karno sendiri terjepit oleh karenanya. Hanya kharismanya yang sering menolong Bung Karno meloncat dari jepitan-jepitan itu.

Akhirnya Bung Karno sebagai manusia biasa. Dia dapat serius, tapi dapat juga santai. Dapat mencintai, tapi dapat juga membenci. Dapat hidup realistis, tapi juga dapat “mimpi” hal-hal yang di luar jangkauan. Tetapi selalu ramah tamah. Tidak pernah dengki.

Beliau sendiri mengatakan kelahiran bintang Gemini. Malahan dobel. Yaitu 6 Juni. Tanggal 6 bulan 6. Saya sendiri tidak begitu percaya sepenuhnya kepada pengaruh perbintangan itu. Tetapi bahwa Bung Karno seringkali menunjukkan watak-watak yang kontroversial itu memang saya alami. Dia memiliki “charm” yang “disarming”. Dia terbuka untuk kritik obyektif sekalipun tidak jarang diterimanya dengan marah-marah.

Menurut saya “tiga Sukarno” itulah terkait dalam diri Bung Karno. Ideoloog, Politikus-Negarawan, dan Manusia. Cita-citanya besar. Perjuangannya besar. Lawan-lawannya besar. Kawan-kawannya pun besar. Religiositasnya besar. Rasionalitasnya besar. Emosinya besar. Nafsunya besar. Ya libidonya juga besar.

Dan seperti Oom Arnold Mononutu pernah menenteramkan saya: pada tiap orang besar seperti Bung Karno melekat pula “les defauts de ses qualites”, yaitu kekurangan-kekurangan yang besar. Juga kekeliruan dan kesalahan yang besar. Tapi penderitaannya pun dan jasa-jasa pun adalah besar.

Dibolak-balik, Bung Karno adalah, di mata kawan dan lawan, baik di dalam maupun di luar negeri, seorang pejuang. Seorang “titan”, yang tidak kenal lelah. Yang tidak setengah-setengah. Setia kepada cita-citanya dan kepada prinsip politiknya. Dengan segala bahaya dan risikonya.

Semua itu mempengaruhi dan telah menjadi pelajaran generasi sebaya saya. Ada yang dapat keliru, ada yang tidak. Semoga demikian juga bagi generasi sekarang dan generasi mendatang.

Sumber : Arsip Majalah Tempo Online

Leave a comment