Bung Tomo Mundur

Tempo 20 Desember 1975. KEPADA Indonesi Times Bung Tomo msnyampaikan pengumuman yang paling berharga bulan ini: “Saya ingin menyatakan kepada para wartawan bahwa inilah wawancara saya yang terakhir mengenai 10 Nopember”. Sikap Bung Tomo ketika itu sudah ogahan, kata koran itu. Dia merasa bahwa peranannya dalam Revolusi cuma kecil saja. Nah, jadi mulai sekarang para kulitinta harus cari bintang-bintang baru. Sebab masih ada jutaan lainnya.

Bagi pemimpin rakyat yang sejati dan rendah hati, lama-lama memang susah hidup dengan adat-upacara setiap 10 Nopember itu: selalu dirinya jadi pusat perhatian dan sanjungan, selalu dirinya jadi tempat bertanya dan sumber sejarah. Pengalaman demikian memang nikmat, suatu kemewahan yang kebanyakan pemimpin tidak suka lepaskan begitu saja. Betapa tidak. Ini menjamin nama harum sepanjang hidupnya, dan tinta emas sesuah mati. Dan siapa tahu, mungkin juga monumen dan mausoleum dan harum kemenyan.

Ahli ilmu jiwa mungkin juga melihat semacam narcissism di sini. Tapi Bung Tomo rupanya beranggapan bahwa Revolusi Indonesia bukan cuma bikinan panglima, gubernur dan diplomat saja. Api 10 Nopember saja terbukti tidak disundut di meja diplomasi. Tentu saja, semua tokoh tinggi dan agung juga berkata bahwa Revolusi kita ini ialah perjuangan seluruh rakyat. Tapi kia tinggal baca kembali saja segala tulisan dalam media massa sekitar 10 Nopember kemarin itu. Tidakkah mengherankan bahwa bobotnya cuma berputar-putar di sekitar diplomasi tinggi saja? Tidakkah mengherankan bahwa ribuan kata dironce hanya untuk membeberkan kembali perselisihan di antara pemimpin-pemimpin tinggi?

Tidakkah mengherankan bahwa “massa rakyat” di situ hanya berperan sebagai hiasan bibir saja? Massa rakyat tinggal sebagai ‘massa kelabu’, tanpa rinci, tanpa pribadi-pribadi. Bagaimanapun mau diputar-balik, untuk mengetahui tentang “kerja kasarnya” Revolusi beserta “pekea-pekerja kasarnya” orang perlu terlibat sendiri sehari-harinya di tengah cucuran darah dan desingan mesiu. Perlu berada sendiri di dusun, di hutan, di jalanan, di parit, di pos terdepan, dapur umum, di atas tandu, dan di dalam regu, kompi dan seksi. Kalau tidak, ya orang memang tidak bakal mampu cerita apa-apa tentang rakyat pejuang.

Revolusi Indonesia itu sebenarnya kaya dan luar biasa. Tapi kalau hanya kaum tinggi saja yang mendongengkannya, maka sejarah Revolusi memang jadi miskin dan kering dan sangat berat sebelah, topzwaar. Betapa “ilmiah”nya dan bergairahnya orang itu bila bercerita mengenai kemelut tingkat tinggi, tentunya tanpa lupa menyebutkan peranan dirinya di situ. Tapi begitu dia beralih kepada lipstick “rakyat”, maka terasa betul dia itu kekurangan bahan cerita. Dengan dua tiga sapuan saja selesailah lukisan “perjuangan rakyat”.

Segala kegairahan dan ketelitian mengenai apa-apa yang khusus dan kongkrit hilang, dan yang terbaca jadinya hanya beberapa semboyan usang. Selama berabad-abad lamanya sejarah Indonesia sudah dikuasai oleh kisah-kisah sang prabu dan pangeran dan tumenggung saja. Maklumlah, namanya juga zaman feodal. Sudah itu menyusul sejarah kaum cendekiawan. Dan sudah itu rakyat berontak dan merebut kemerdekaan. Tapi kisahnya masih tetap kisah kaum tinggi saja. Baru-baru ini kerangka sembilan orang pahlawan dipindahkan ke Taman Pahlawan Cikutra di Bandung. Tak ada seorangpun yang merasa tertarik untuk mengumumkan kisah-kisah para pahlawan itu Mungkin disangka mereka itu cuma pahlawan kelas tiga ata kelas kambing.

Sesudah sekian lama diganggu wartawan, maka ada baiknya sekarang Bung Tomo mulai mengganggu wartawan. Misalnya memimpin wartawan dan sastrawan dan juru sejarah dalam suatu proyek yang berencana, besar-besaran dan berjangka Iama. Yaitu mernbuat massa kelabu itu berkelip-kelip dengan jutaan bintang. Memburu segala pejuang kelas kambing dan menyebutkan namanya satu-satu. Memeras segala fakta dan kisah Revolusi dari mereka. Mereka masih hidup. Ada yang sudah menjadituan dan nyonya besar.

Banyak yang terlantar, tambah miskin, tambah gelap harapan hari esok, dan di samping itu masih terus diganggu dan disakiti pula oleh orang-orang yang tidak pernah melihat Revolusi. Begitu besar dan penuh pekerjaan itu, sehingga tentunya sudah tidak mungkin disediakan waktu lagi untuk mewawancarai orang-orang yang sudah ratusan kali diwawancarai pengarang-pengarang dalam dan luar negeri. Kaum tinggi sebaiknya menulis memoires saja sepuas-puasnya. Waktu, biaya dan kemampuan menulis ada pada mereka. Penerbit pasti bersedia. Tidak demikian halnya dengan bekas-bekas pejuang tingkat murba. Bangsa Indonesia berhak mengenal Euis dan Rokayah yang begitu setia merawat dan menghibur dan menasehati para pemuda kita di front Ujungberung.

Kita semua berhak membaca tentang Milly Ratulangi, gadis cerdas-berani yang mondar-mandir menyelundupkan obat dan bacaan kepada para gerilyawan Yogya sambil kucing-kucingan dngan serdadu-serdadu Belanda. Paling sedikit mesti bisa dihasilkan seratus jilid buku tebal mengenal segala pekerja-kasar Revolusi kita ini. Maka barulah Revolusi Indonesia menjadi kisah revolusi rakyat. Tahun depan, pada Hari Proklamasi dan Hari Pahlawan, kita semua sudah berhak akan bacaan dan tontonan jenis lain.

Sumber : Arsip Majalah Tempo Online

Leave a comment